Sabtu, 10 Agustus 2013

Memperbaiki Dunia, Mulai Dari Diri Kita Sendiri

 Ada banyak keluhan bahwa zaman ini amat buruk, dunia amat merosot dan umat manusia menghadapi keruntuhannya. Keluhan itu bukan sesuatu yang baru. Agustinus sudah mengutarakan keluhan itu dalam abad keempat dan kelima, “Zama ini buruk, zaman ini penuh kesusahan, demikian kata orang.
Kita adalah zaman. Yang hendak mengubah dunia, harus mulai pada dirinya sendiri. Yang mulai mengubah dirinya sendiri, segera menyadari bahwa ia menemukan pandangan baru tentang dunia. Lalu dunia mulai tampak lain. Dalam banyak hal, yang sebelumnya kacau-balau kelihatannya, kini muncul keselarasannya yang terpendam. Dilihat dari luar, benda-benda itu masih selalu sama adanya, tetapi semuanya itu mendapat arti baru. Orang tidak lagi kehilangan dirinya sendiri dalam benda-benda, kini orang tenggelam dalam Allah.


 Adapun syarat dasar untuk itu ialah orang memahami, bahwa manusia tidak hanya wajib belajar mengenal dan mengusai dunia, tetapi bahwa tugasnya yang terpenting ialah perubahan batin. Bukan sebagai yang harus dilaksanakan justru dalam memenuhi tugas duniawi, tetapi sebagai yang harus dilaksanakan justru dalam memenuhi tugas duniawi itu. Tujuannya adalah selalu menjadi ‘terang’ (Mat  5:14), bukan sumber cahaya tunggal yang besar, yaitu Yesus (Yoh 8:14).
 Pandangan kita atas dunia tergantung dari pandangan kita atas diri kita sendiri. Jika kita menekankan bentuk lahir tubuh kita, yaitu apakah kita ini besar atau kecil, bagus atau jelek,  kita juga akan memandang apakah orang lain bagus atau jelek, simpatik atau antipatik. Jika kita mempersamakan diri kita dengan akal kita, kita pun akan mengelompokkan orang-orang lain menurut tingkat inteligensi atau kebodohan. Tetapi jika kita menitikberatkan yang paling dalam dari diri kita sendiri, hidup ilahi, maka tiba-tiba di mana-mana kita mulai mengenali hidup itu pada segala manusia. Bukan hanya pada manusia, tetapi juga pada dunia. Sebab inti terdalam kita adalah juga dasar terdalam dunia. Orang menemukan, bahwa setiap saat dunia diciptakan sebagai dunia baru dan bahwa segala-galanya di dunia, termasuk kepedihan dan kesusahan, secara ajaib menyanyikan cinta kasih Allah.

Diri kita dan Lingkungan
                Memperbaiki dunia, mulai pada diri sendiri  mula-mula harus ada pemahaman tentang lingkungan (dunia) dan diri sendiri. Kata “mengerti” atau “pemahaman” adalah salah satu dari kata terkenal dalam kosa kata bahasa Inggris. Hampir semua orang tahu arti dari “mengerti”. Namun hampir semua orang juga gagal untuk memahami makna pemahaman. Kita semua merupakan kosa kata, tetapi gagal untuk mengetahui pentingnya. Memahami adalah salah satu kata yang paling penting untuk tahu. Jika kita tidak tahu itu, kita mungkin akan tahu apa-apa. Hal ini juga merupakan salah satu kata yang paling disalahgunakan oleh kita. Ada banyak definisi pemahaman tapi apa yang dibicarakan di sini adalah definisi bahwa  “Untuk menerima toleran atau simpatik"
Mengapa kita perlu memahami orang lain? Memahami adalah salah satu kunci bagi kita untuk hidup dalam keharmonisan dan damai satu sama lain. Kurangnya pemahaman memiliki konsekuensi yang sangat besar. Konflik terjadi karena kita tidak saling memahami. Diskriminasi rasial, pernikahan yang hancur, kejahatan, dll  terjadi karena orang salah paham atau salah memahami  orang lain. Seperti di katakan, John C. Maxwell, dalam tulisannya “ Relationships 101”,  adalah Kurangnya pemahaman orang lain tentang sumber ketegangan berulang dalam masyarakat kita."
Mengapa kita gagal memahami orang lain? Menurut John C. Maxwell, ini adalah alasan mengapa kita gagal untuk memahami orang lain karena rasa takut, keegoisan, kegagalan untuk menghargai perbedaan, dan kegagalan untuk mengakui kesamaan. Ketakutan membuat kita  takut untuk memahami orang lain. Kita memiliki keraguan dan ketidakamanan untuk mengetahui dan memahami orang. Kita takut mereka yang berada di atas dan cenderung untuk tinggal di mana kita berada. Dalam rangka untuk memahami orang lain, kita harus mengesampingkan rasa takut dan ketidakamanan dan mencoba untuk mengenal orang lain.
Ketika kita tidak takut untuk memahami orang lain, egoisme sering menghalangi jalan kita. Kita selalu memikirkan diri kita terlebih dahulu, kita tidak pernah memikirkan apa yang baik bagi orang lain.
Mengapa kita harus“memahami”? Karena bila kita tidak memahami keadaan, situasi, tempat, orang  hubungan kita bersama orang lain bisa tidak menjadi harmonis. Dan pemahaman ini pun disertai dengan “mendengarkan” orang lain. Orang Jawa mempunyai istilah yang khas: nggugu karepe dhewe atau juga ndableg artinya yang diistilakan dalam Kitab Suci “tegar tengkuk” dan “tegar hati”. Istilah itu menunjuk pada satu sikap tidak mendengarkan, tidak memperhatikan, dan tidak menuruti nasihat orang lain. Sikap tersebut sudah menjadi sifat manusia sejak zaman lampau sampai sekarang ini. Percaya diri yang berlebihan tidak jarang menjadi penyebab orang memiliki sifat keras kepala. Keyakinan berlebihan bahwa dirinya pasti paling baik, paling benar, paling tahu, dan paling bisa, membuat orang tidak mau lagi peduli pada pendapat orang lain. pengalaman menjukkan bahwa orang yang bersifat demikian biasanya pada akhirnya akan menerima konsekuensi pahit dari ketegaran hatinya. Bisa jadi, orang lain pun akhirnya enggan memberikan nasihat kepadanya. Walaupun demikian kita tetap belajar bersyukura dari hal-hal yang baik dan belajar dari hal-hal yang tidak baik untuk menjadi kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar