Ada banyak keluhan
bahwa zaman ini amat buruk, dunia amat merosot dan umat manusia menghadapi
keruntuhannya. Keluhan itu bukan sesuatu yang baru. Agustinus sudah
mengutarakan keluhan itu dalam abad keempat dan kelima, “Zama ini buruk, zaman
ini penuh kesusahan, demikian kata orang.
Kita adalah zaman. Yang hendak mengubah dunia, harus mulai
pada dirinya sendiri. Yang mulai mengubah dirinya sendiri, segera menyadari
bahwa ia menemukan pandangan baru tentang dunia. Lalu dunia mulai tampak lain.
Dalam banyak hal, yang sebelumnya kacau-balau kelihatannya, kini muncul
keselarasannya yang terpendam. Dilihat dari luar, benda-benda itu masih selalu
sama adanya, tetapi semuanya itu mendapat arti baru. Orang tidak lagi
kehilangan dirinya sendiri dalam benda-benda, kini orang tenggelam dalam Allah.
Adapun syarat dasar
untuk itu ialah orang memahami, bahwa manusia tidak hanya wajib belajar
mengenal dan mengusai dunia, tetapi bahwa tugasnya yang terpenting ialah
perubahan batin. Bukan sebagai yang harus dilaksanakan justru dalam memenuhi
tugas duniawi, tetapi sebagai yang harus dilaksanakan justru dalam memenuhi
tugas duniawi itu. Tujuannya adalah selalu menjadi ‘terang’ (Mat 5:14), bukan sumber cahaya tunggal yang
besar, yaitu Yesus (Yoh 8:14).
Pandangan kita atas
dunia tergantung dari pandangan kita atas diri kita sendiri. Jika kita
menekankan bentuk lahir tubuh kita, yaitu apakah kita ini besar atau kecil,
bagus atau jelek, kita juga akan
memandang apakah orang lain bagus atau jelek, simpatik atau antipatik. Jika kita
mempersamakan diri kita dengan akal kita, kita pun akan mengelompokkan
orang-orang lain menurut tingkat inteligensi atau kebodohan. Tetapi jika kita
menitikberatkan yang paling dalam dari diri kita sendiri, hidup ilahi, maka
tiba-tiba di mana-mana kita mulai mengenali hidup itu pada segala manusia.
Bukan hanya pada manusia, tetapi juga pada dunia. Sebab inti terdalam kita
adalah juga dasar terdalam dunia. Orang menemukan, bahwa setiap saat dunia
diciptakan sebagai dunia baru dan bahwa segala-galanya di dunia, termasuk
kepedihan dan kesusahan, secara ajaib menyanyikan cinta kasih Allah.
Diri kita dan Lingkungan
Memperbaiki dunia, mulai pada diri sendiri mula-mula harus ada pemahaman tentang
lingkungan (dunia) dan diri sendiri. Kata “mengerti” atau “pemahaman” adalah
salah satu dari kata terkenal dalam kosa kata bahasa Inggris. Hampir semua
orang tahu arti dari “mengerti”. Namun hampir semua orang juga gagal untuk
memahami makna pemahaman. Kita semua merupakan kosa kata, tetapi gagal untuk
mengetahui pentingnya. Memahami adalah salah satu kata yang paling penting
untuk tahu. Jika kita tidak tahu itu, kita mungkin akan tahu apa-apa. Hal ini
juga merupakan salah satu kata yang paling disalahgunakan oleh kita. Ada banyak
definisi pemahaman tapi apa yang dibicarakan di sini adalah definisi bahwa “Untuk menerima toleran atau simpatik"
Mengapa kita perlu memahami orang lain? Memahami adalah
salah satu kunci bagi kita untuk hidup dalam keharmonisan dan damai satu sama
lain. Kurangnya pemahaman memiliki konsekuensi yang sangat besar. Konflik
terjadi karena kita tidak saling memahami. Diskriminasi rasial, pernikahan yang
hancur, kejahatan, dll terjadi karena
orang salah paham atau salah memahami
orang lain. Seperti di katakan, John C. Maxwell, dalam tulisannya “
Relationships 101”, adalah Kurangnya
pemahaman orang lain tentang sumber ketegangan berulang dalam masyarakat
kita."
Mengapa kita gagal memahami orang lain? Menurut John C.
Maxwell, ini adalah alasan mengapa kita gagal untuk memahami orang lain karena
rasa takut, keegoisan, kegagalan untuk menghargai perbedaan, dan kegagalan
untuk mengakui kesamaan. Ketakutan membuat kita
takut untuk memahami orang lain. Kita memiliki keraguan dan
ketidakamanan untuk mengetahui dan memahami orang. Kita takut mereka yang
berada di atas dan cenderung untuk tinggal di mana kita berada. Dalam rangka
untuk memahami orang lain, kita harus mengesampingkan rasa takut dan
ketidakamanan dan mencoba untuk mengenal orang lain.
Ketika kita tidak takut untuk memahami orang lain, egoisme
sering menghalangi jalan kita. Kita selalu memikirkan diri kita terlebih
dahulu, kita tidak pernah memikirkan apa yang baik bagi orang lain.
Mengapa kita harus“memahami”? Karena bila kita tidak
memahami keadaan, situasi, tempat, orang
hubungan kita bersama orang lain bisa tidak menjadi harmonis. Dan
pemahaman ini pun disertai dengan “mendengarkan” orang lain. Orang Jawa
mempunyai istilah yang khas: nggugu karepe dhewe atau juga ndableg artinya yang
diistilakan dalam Kitab Suci “tegar tengkuk” dan “tegar hati”. Istilah itu
menunjuk pada satu sikap tidak mendengarkan, tidak memperhatikan, dan tidak
menuruti nasihat orang lain. Sikap tersebut sudah menjadi sifat manusia sejak
zaman lampau sampai sekarang ini. Percaya diri yang berlebihan tidak jarang
menjadi penyebab orang memiliki sifat keras kepala. Keyakinan berlebihan bahwa
dirinya pasti paling baik, paling benar, paling tahu, dan paling bisa, membuat
orang tidak mau lagi peduli pada pendapat orang lain. pengalaman menjukkan
bahwa orang yang bersifat demikian biasanya pada akhirnya akan menerima
konsekuensi pahit dari ketegaran hatinya. Bisa jadi, orang lain pun akhirnya
enggan memberikan nasihat kepadanya. Walaupun demikian kita tetap belajar
bersyukura dari hal-hal yang baik dan belajar dari hal-hal yang tidak baik
untuk menjadi kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar